Bagian 05
Tantangan dan Kritik terhadap DAO...
Last updated
Tantangan dan Kritik terhadap DAO...
Last updated
DAO sering dipuja sebagai simbol masa depan organisasi: adil, transparan, tanpa bos.
Tapi seperti halnya teknologi lain yang penuh janji, DAO juga membawa masalah-masalah baru — bukan hanya teknis, tapi juga sosial, politik, dan etika.
DAO dijalankan oleh kode yang tak bisa dibohongi. Tapi kode yang salah… bisa menjadi bencana.
The DAO Hack adalah bukti bahwa bug kecil bisa menguras dana jutaan dolar.
Smart contract bersifat immutable (tidak bisa diubah begitu saja) — jika ada celah, seringkali tak ada jalan mundur.
Audit mahal, dan tak semua DAO mampu membayarnya.
Catatan: DAO yang paling sukses selalu menyisihkan anggaran untuk audit, dan membuat tim penjaga protokol.
DAO membuka partisipasi bagi siapa saja… tapi ternyata, tidak semua orang ingin (atau sempat) berpartisipasi.
Banyak proposal DAO hanya di-vote oleh 5–10% pemilik token.
Mayoritas hanya “memegang token” sebagai investasi, bukan sebagai alat demokrasi.
Proposal besar bisa lolos atau gagal hanya karena kurang partisipasi, bukan karena buruk atau baiknya isi.
Ini adalah ironi:
Semakin besar DAO, seringkali partisipasi semakin turun — dan akhirnya kembali dikendalikan oleh minoritas aktif.
“1 token = 1 suara” terdengar adil.
Tapi bagaimana jika seseorang memiliki 1 juta token, dan lainnya hanya 10 token?
DAO bisa dikuasai oleh para “whale” yang membeli banyak token.
Voting bisa berubah jadi plutokrasi: yang kaya, yang berkuasa.
Proposal yang masuk akal bisa kalah karena tidak didukung oleh elite token.
Solusi seperti quadratic voting mulai digunakan, tapi belum lazim dan punya tantangan tersendiri.
DAO menabrak batas-batas sistem hukum:
Di banyak negara, DAO belum diakui sebagai entitas hukum.
Siapa yang bertanggung jawab jika DAO melakukan penipuan? (apakah semua anggotanya bersalah?)
Di beberapa kasus, pemerintah mulai menuntut DAO seperti perusahaan (contoh: kasus Ooki DAO di AS).
DAO bukan di luar hukum — tapi hukum belum tahu bagaimana menghadapi DAO.
Demokrasi butuh proses. Tapi ketika semua harus divote:
Pengambilan keputusan bisa lambat
Banyak proposal teknis terlalu rumit untuk dipahami rata-rata anggota
Bisa muncul “fatigue” — anggota lelah membaca dan memilih
Akhirnya, banyak DAO membentuk working group atau sub-komite — mirip seperti “departemen” dalam organisasi tradisional.
DAO pun diam-diam menciptakan kembali struktur lama, tapi dengan wajah baru.
Karena DAO berbasis wallet dan pseudonim:
Tidak semua anggota punya track record atau identitas jelas
Sulit membangun kepercayaan dalam proyek jangka panjang
Penipuan atau manipulasi bisa dilakukan dengan banyak wallet (Sybil attack)
Tantangan baru:
Bagaimana menggabungkan kebebasan anonimitas dengan tanggung jawab kolektif?
Sayangnya, banyak DAO yang hanya DAO “di nama saja.”
Voting tidak punya efek nyata
Tim core tetap membuat semua keputusan
Token hanya gimmick, bukan alat pengambilan keputusan
DAO seperti ini hanya memperdagangkan jargon “desentralisasi” untuk legitimasi, bukan sebagai prinsip sejati.
DAO bukan solusi untuk semua masalah organisasi.
DAO adalah alat — dan seperti semua alat, nilainya tergantung pada niat, desain, dan cara kita menggunakannya.
Kritik terhadap DAO tidak berarti menolaknya. Justru, dengan memahami tantangannya, kita bisa merancang DAO yang lebih manusiawi, inklusif, dan bijak.
Selanjutnya, mari kita lihat ke depan:
Bagaimana masa depan DAO?
Dan apakah DAO bisa menjadi tulang punggung masyarakat masa depan?
Kita lanjutkan ke Bagian 6: Masa Depan DAO.