SUMUR HALAMAN SEBELAH
We don't belong in your reality, your real life. In your reality, your real life, you can merely meet our avatars in any version. So, stay alert and beware of scams!
Aku tinggal di sebuah rumah kost dua lantai, menghadap jalan kecil di tengah permukiman padat tapi belum sepenuhnya ramai. Rumah itu bukan baru, tapi juga bukan tua. Cat dinding luarnya mulai memudar, dan pagar besinya kadang berderit jika dibuka terlalu cepat. Di teras depan, ada bangku panjang dari kayu, agak lapuk, dan satu tatakan kayu kecil di sisi dinding yang biasa dipakai menaruh benda-benda rumah tangga seperti palu, obeng, atau paku-paku kecil dalam kaleng.
Di seberang jalan — tidak tepat di depan, tapi agak serong ke kiri — berdiri sebuah rumah yang cukup besar, dengan halaman luas dan pohon-pohon yang ditanam tanpa pola. Rumah itu milik tiga bersaudara. Orang tua mereka sudah lama meninggal. Anak tertua sudah menikah, tinggal di sana bersama istrinya dan seorang bayi. Dua lainnya belum menikah. Salah satu kamar di rumah itu disewakan kepada anak kost, yang kemudian kutahu bernama Udin.
Rumah itu tidak gaduh. Tapi juga tidak tenang. Setiap beberapa malam, terutama akhir pekan, mereka sering duduk di teras, berbincang sambil merokok. Teman-teman dari luar datang, membawa gitar, kopi, dan kadang bungkusan nasi padang. Rumah itu menjadi semacam pos nongkrong informal, tanpa nama, tanpa jadwal, tapi konsisten.
Aku tidak keberatan dengan itu.
Selama kebiasaan tetap kebiasaan.
Lalu datang malam itu.
Malam pertandingan.
Tim nasional bermain melawan negara lain. Pertandingan penting, katanya. Disiarkan langsung pukul 02:00 dini hari. Waktu di mana udara biasanya turun paling lembut. Waktu di mana rumah-rumah di gang itu biasanya benar-benar diam, seperti potongan dunia yang berhenti bernafas sebentar.
Tapi malam itu, suara mereka keluar dari rumah itu seperti benda keras yang dilempar ke dalam air tenang.
Pintu rumah dibuka lebar. Televisi disetel keras. Orang-orang berdatangan sejak pukul 1. Mereka menggelar karpet di lantai ruang tamu dan sebagian lagi duduk di ambang pintu. Tak ada sepatu. Tak ada kontrol volume. Mereka bersorak, tertawa, dan berteriak setiap kali bola mengarah ke gawang — bahkan ketika masih di tengah lapangan.
Umpatan meluncur lebih cepat daripada bola itu sendiri. Kata-kata kasar seperti menu wajib malam itu. Merekam rasa kecewa dan gairah mereka tanpa sensor. Mereka bicara seakan-akan mereka sendirilah pelatihnya, komentatornya, bahkan presidennya.
Dari terasku, aku mendengar semuanya. Tak ada celah sunyi.
Pukul 02:36. Seseorang melempar sandal ke lantai karena peluang gagal.
Pukul 02:41. Dua motor berhenti sebentar untuk melihat, lalu ikut duduk di trotoar depan rumah itu.
Pukul 02:47. Teriakan: “GOOOOLLLL!!!” — bukan karena mencetak gol, tapi karena nyaris. Udin berdiri dan menghentakkan kakinya.
Aku duduk diam. Lampu teras tidak aku nyalakan.
Aku hanya melihat, mengingat, dan mencatat — tanpa menulis.
Sampai akhirnya, aku berdiri.
Aku menyeberang jalan. Tanpa suara.
Di depan rumah itu, aku memanggil salah satu dari mereka — seorang yang tampaknya lebih tua. Tapi yang menjawab bukan dia.
Yang menjawab adalah Udin.
Nada bicaranya tidak marah. Tidak menantang. Tapi juga tidak merendah.
“Lho, ini kan sepak bola,” katanya.
Aku menatap wajahnya. Tidak bereaksi. Lalu kutanya: “Namamu siapa?”
“Udin,” jawabnya.
“Dari mana?”
“Dari luar kota. Kost di sini.”
Aku mengangguk. Tidak tersenyum. “Oh, jadi karena ini sepak bola, jadi harus triak-triak, ya?”
Sebelum dia menjawab lagi, salah satu anak pemilik rumah menyela.
“Iya, kami nggak akan triak-triak. Iya.” Nadanya cepat. Ingin menyudahi. Ingin menenangkan. Ingin membuatku pergi.
Dan aku memang pergi.
Aku kembali ke terasku. Duduk. Menghela napas.
Mataku mengarah ke tatakan kayu di dinding. Di sana, seperti biasa, tergantung sebuah palu dan beberapa paku.
Tanganku tidak bergerak. Tapi pikiranku mulai bekerja.
Bukan membayangkan. Tapi menata.
Karena seperti biasa, kalau kebiasaan terganggu, sesuatu perlu dikembalikan seperti semula.
Tiga hari kemudian.
Suasana kembali tenang. Tak ada nobar. Tak ada suara malam. Tak ada Udin.
Tapi tidak ada yang menyadarinya.
Karena Udin bukan bagian dari rutinitas mereka. Ia hanya menumpang. Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak ikut ronda. Tidak ke warung. Tidak meninggalkan kesan apa-apa — selain malam itu.
Sebelum matahari terbit, hari setelah pertandingan itu, aku sudah selesai.
Aku tahu halaman kosong di sebelah rumah kostku.
Dulu ada dua rumah berdiri di sana. Sekarang sudah dirobohkan. Menjadi lahan kosong yang ditumbuhi pohon pisang, pohon kersen, perdu liar, dan semak yang tidak dirawat. Dindingnya tinggi. Gerbangnya dikunci dari dalam. Tidak ada siapa-siapa yang masuk. Bahkan pemilik tanahnya jarang datang.
Di sudut halaman itu, ada dua sumur tua. Penutupnya papan kayu, dipaku asal. Aku tahu papan itu sudah lapuk sejak lama.
Aku tahu karena aku pernah duduk di sana. Menghitung batu. Mengukur waktu gema.
Pukul 04:12 pagi. Semua sudah selesai.
Aku mencuci tangan dengan sabun yang biasa. Di kamar mandi yang biasa. Mengeringkan dengan handuk kecil yang tergantung di paku, di dekat wastafel.
Kamar kostku tetap rapi. Tidak ada yang berubah.
Pagi harinya, warung kopi di depan mulai buka. Orang-orang datang. Duduk. Bercanda. Memesan kopi sachet dan mi instan. Seperti biasa.
Tak ada yang mencari Udin.
Tak ada yang menyebut namanya.
Dan tak ada yang tahu bahwa ia sekarang berada di dalam sumur tua, tertutup kembali oleh papan kayu dan semak-semak yang tumbuh menutupinya dengan sangat biasa.
Dan semua kembali seperti biasa.
P.S. Read this document freely for information and guidance. Do not redistribute or restate—no quotes, summaries, paraphrases, or derivatives—without prior written permission from Prof. NOTA. Sharing the link is allowed. So, share the link, not the text. Do not discuss or re-tell the contents in any form—written, spoken, or recorded—without prior written permission.
Last updated
