Page cover

KOMPLEK BARU BIASA

We don't belong in your reality, your real life. In your reality, your real life, you can merely meet our avatars in any version. So, stay alert and beware of scams!

Kupanggil targetku.

Waktu itu dia sedang berdiri di depan rumahnya — sebuah rumah di dalam komplek perumahan baru. Komplek ini belum padat, banyak kavling yang masih kosong, dan sebagian rumah belum berpenghuni. Suasananya cenderung tenang, nyaris sunyi.

Targetku menoleh dan menjawab panggilanku, “Iya, ada perlu apa?”

“Permisi, Mbak,” sahutku. Lalu kutambahkan, “Saya boleh menumpang bertanya? Apakah benar ini rumah Mbak Puspa?”

“Iya, benar. Itu saya sendiri. Ada perlu apa dengan saya?” jawabnya, terdengar sedikit penasaran namun tetap menjaga jarak.

Aku tidak langsung menjawab. Kupahami posisiku waktu itu: aku berdiri di luar pagar, sementara dia berada di dalam pagar, satu tangan masih menggenggam gagang pintu pagar seolah siap menutup sewaktu-waktu.

Sikapnya tidak terburu-buru, tapi juga tidak terbuka. Pagar menjadi batas psikologis yang tidak mungkin kuterobos begitu saja. Ia tampak menjaga privasi, dan belum ada sinyal untuk membukakan pagar pada orang asing seperti aku.

Jadi aku memutuskan: ini bukan saatnya.

Lalu aku bicara, dengan nada yang biasa saja, seperti orang yang sedang gugup tapi berniat baik.

“Saya itu sebenarnya tahu Mbak Puspa dari IG, Mbak. Ini saya beranikan diri ke sini karena saya kebetulan tinggal dekat sini — kampung sebelah, yang banyak kost-kostannya itu, lho.”

“Maaf, Mbak, kalau kurang berkenan. Saya cuma mau kenalan. Semoga bisa jadi teman. Soalnya saya sering kalau pagi-pagi itu lari-lari atau sekadar jalan kaki di komplek sini. Udara pagi di sini masih lumayan segar… mungkin karena masih banyak kavling kosong ya.”

Selesai bicara, aku diam sebentar. Kukunci pandanganku pada sela-sela pagar, mengamati ekspresi wajahnya, gerak tangannya, posisi kakinya. Aku tak hanya mendengar jawabannya, tapi mencoba membaca bahasa tubuhnya.

Kadang ucapan bisa dibuat-buat, tapi tubuh tak bisa bohong.

Aku cukup lama berdiri, menunggu satu celah kecil dari responsnya. Bukan kata-kata, tapi isyarat samar yang bisa kubaca sebagai undangan. Tapi jika tidak ada… aku akan mundur. Seperti biasa.


Ia tersenyum kecil. Tidak sepenuhnya ramah, tapi cukup untuk menandakan bahwa aku tak dianggap ancaman langsung.

Tapi pagar tetap tertutup. Ia berdiri dengan satu tangan di dada, satu lagi menggenggam pagar. Aku memperhatikan jari-jarinya—tidak gemetar, tapi ada satu gerakan kecil: ia mengetuk-ngetuk gagang pagar dengan ibu jarinya. Pola gugup yang biasa.

Aku mengangguk pelan. “Kalau gitu saya pamit dulu, Mbak. Maaf sudah mengganggu.”

Ia mengangguk kembali. “Iya. Hati-hati ya.”

Aku melangkah pergi, pelan dan biasa saja. Langkah kaki kanan-kiri seperti orang yang sedang bingung mau mampir warung atau langsung pulang. Lalu kuputuskan duduk sebentar di pos ronda ujung jalan. Pos kosong, hanya ada bangku plastik dan satu botol air mineral bekas.

Dari tempat duduk itu, aku masih bisa mengawasi rumahnya. Sekitar 35 meter jaraknya. Pandangan tidak terhalang, karena kavling di kanan-kirinya masih berupa tanah berumput.

Ia masuk ke dalam. Pintu ditutup. Lampu teras tidak dinyalakan. Tapi aku tahu rumahnya tidak ada pagar CCTV. Bahkan saklar pintu gerbang otomatis pun belum terpasang.

Aku ambil ponsel, lalu buka aplikasi catatan. Kutulis hal-hal kecil: warna pagar, arah bukaan pintu utama, posisi rak sepatu, jenis gembok pagar, dan berapa detik dia berdiri sebelum masuk.

Semua biasa saja.

Aku tidak mencatat karena cemas. Aku mencatat karena ini kebiasaanku—selalu mencatat hal-hal yang mungkin tak penting bagi orang lain.

Lalu aku pulang. Tak langsung ke rumah. Tapi mampir dulu ke warung. Beli roti. Beli sabun cair. Lalu pulang seperti biasa.

Keesokan paginya, aku kembali lari pagi. Melewati rumah itu. Pelan saja, sesekali menunduk seolah mengecek tali sepatu. Tak ada yang mencurigakan dari orang yang lari pagi dan sesekali memandang rumah kosong, bukan?

Aku ingin tahu, jam berapa lampu rumah itu menyala. Dan jam berapa padam. Itu saja.


Hampir setiap hari—pagi atau sore—aku melakukan aktivitas biasanya di komplek itu. Jalan kaki. Lari kecil. Kadang membeli minuman ringan di warung dekat gerbang. Semuanya biasa saja.

Tapi sesungguhnya aku sedang mengawasi. Mengukur ritme hari-harinya. Mencatat, tapi hanya dalam kepala: kapan lampu halaman dinyalakan, kapan suara keran terdengar dari dapur, kapan jendela kamar terbuka.

Aku tahu kapan dia membuka pagar dan kapan tidak. Kapan dia menyapu halaman, dan kapan dia hanya berdiri menelpon di teras.

Semua itu perlu waktu. Tapi aku sabar. Karena begitulah kebiasaanku. Dan dari semua itu, aku mendapatkan hal-hal penting—hal-hal yang biasa kubutuhkan dalam kebiasaanku yang biasa mendapatkan target, dan menuntaskannya secara biasa.

Hal yang paling mengganggu dari semua itu bukan rutinitasnya.

Tapi kebiasaannya yang satu itu: memposting.

Ia mulai sering memposting foto-foto dan video pendek dari sekitar rumahnya. Teras. Jalan depan. Sudut taman komplek. Semua terlihat biasa. Tapi diberi keterangan lokasi yang sangat spesifik, dan waktu unggahannya selalu berdekatan dengan waktu kejadian aslinya.

Itu mengacaukan keseimbanganku.

Karena selama ini, aku membiasakan dunia untuk percaya bahwa aku hanya bagian dari latar belakang. Tidak penting. Tidak menonjol. Biasa.

Tapi karena postingan itu, aku mulai terdengar. Terlihat. Tertangkap — bukan oleh kamera pengintai, tapi oleh kesadaran orang-orang yang biasa saja.

Aku masih ingat pertama kalinya itu terjadi. Saat aku sedang menyusuri jalan depan rumahnya, seperti biasa. Seingatku, waktu itu pukul 06:17 pagi.

Tiba-tiba tiga atau empat pemuda dan pemudi melambatkan langkahnya. Salah satu dari mereka berseru:

“Eh, kamu yang suka lari pagi di depan rumah Mbak Puspa, ya!?”

“Familiar banget wajahmu...”

“Kamu kenal Mbak Puspa, kan? Kan?”

“Dia itu idaman semua lelaki yang kenal dia sejak kuliah, lho...”

“Setelah lulus kuliah dia sukses banget. Kariernya cepat naik.”

“Masih muda, tapi udah mampu beli rumah sendiri, mandiri banget.”

Kata-kata mereka berulang dalam kepalaku. Bukan karena penting, tapi karena efeknya.

Kejadian itu terulang lagi. Dua, tiga kali. Dengan orang-orang yang berbeda. Beberapa dari dunia nyata. Beberapa dari dunia online. Tapi semuanya mengenal dia. Dan itu mengubah segalanya.

Karena yang semula hanya “rumah kosong di komplek baru”, kini jadi lokasi yang ada di kepala banyak orang. Nama dia muncul di percakapan. Wajahnya dikenal. Kehidupannya direkam. Dan itu... membuat semua jadi tidak biasa.

Dan bagiku, itu cukup.

Cukup untuk tahu bahwa semua hal yang biasa—jalan, pagar, suara burung, cahaya pagi—telah berubah konteks. Tidak lagi steril.

Tapi meski begitu, aku tetap bisa menuntaskannya.

Karena aku tahu, bagaimana caranya agar sesuatu yang luar biasa di mataku bisa menjadi biasa bagiku dan tetap terlihat biasa di mata semua orang.

Dan itu selalu cukup.


Hari itu datang, seperti semua hari lainnya.

Langit sedikit mendung. Bukan mendung yang menjanjikan hujan, tapi cukup untuk membuat bayangan tidak terlalu tajam. Angin nyaris tidak terasa. Heningnya komplek membuat suara sepatu yang menyentuh trotoar terdengar lebih jernih, tapi tetap tak ada yang memperhatikan.

Aku berjalan tanpa tergesa. Setiap langkah sudah pernah kulatih.

Di dalam tas, semua alat sudah tertata. Sarung tangan, botol semprot, plester. Tapi aku tidak membukanya. Aku tak perlu memastikan ulang. Semua sudah dihitung sejak kemarin malam.

Aku berhenti di pos ronda sebentar. Duduk di bangku plastik. Mengeluarkan botol air dari tas. Minum seteguk. Menyeka keringat padahal belum berkeringat. Ini hanya bagian dari gambar besar: seorang pejalan kaki yang sedang istirahat.

Dari pos ronda, rumahnya tampak tak berubah. Sama seperti dalam semua catatanku. Gorden belum tertutup. Sepatu tetap ada di depan pintu. Ember masih tertelungkup di sudut kanan teras.

Aku tidak buru-buru ke sana. Karena seperti kebiasaanku, aku memberi ruang antara niat dan tindakan. Ruang itu penting. Ruang itu bagian dari ritme.

Pukul 10:32 aku berdiri. Melangkah tanpa suara. Menyusuri pinggir jalan, tidak langsung ke pagar rumahnya. Tapi ke arah kavling kosong di samping rumah itu. Kavling itu masih berupa tanah lapang, ditumbuhi ilalang pendek. Di ujungnya, ada dinding samping rumah targetku — tak terlalu tinggi, bisa dinaiki dengan sekali langkah batu bata.

Aku diam di sana, menunggu. Bukan untuk memastikan, tapi untuk menyesuaikan detak jantungku dengan detak dunia. Supaya ketika aku melangkah masuk, semuanya tetap terasa biasa.

Dari balik dinding itu, aku bisa mendengar radio kecil yang menyala di dalam rumah. Lagu lama yang tidak populer, semacam kompilasi CD supermarket. Volume rendah. Tapi cukup untuk memberi tahu bahwa rumah tidak sedang kosong.

Kupeluk tas kanvasku dengan satu tangan, dan dengan tangan yang lain, kuambil ponsel. Kutulis satu kalimat di aplikasi catatan:

“Di dunia yang terus bergerak dengan cepat, aku memilih diam. Aku diam bukan karena takut. Tapi karena ritme yang kupelihara sejak awal adalah ritme diam-diam.”

Kalimat itu kutulis bukan untuk siapa-siapa. Tapi jika suatu hari seseorang membacanya, mereka akan tahu bahwa ini bukan sekadar cerita.

Ini jejak.

Jejak dari seseorang yang mungkin tak ingin dikenal, tapi ingin dikenang.

Dan kalau pun jejak itu pernah disatukan, dikurasi, dibaca, ditafsir, atau dipelajari... mungkin namanya tidak akan disebut.

Tapi dalam metadata-nya, tertulis samar: “Konsep ini pernah digariskan oleh Prof. NOTA.”

Lalu aku menghapus catatan itu. Selesai menulis, selesai eksis. Seperti semua bagian kecil dari rencana ini. Selesai diam, maka saatnya bergerak.

Aku naik ke atas dinding. Satu kaki, satu tangan. Tidak meloncat. Tidak menyelinap. Hanya berpindah posisi — seperti seseorang yang sedang memeriksa genteng rumahnya sendiri.

Dan aku masuk.


Aku masuk ke halaman belakang dari sisi dinding. Tanpa suara. Tanpa gerakan cepat. Rumput di belakang belum terlalu tinggi. Jejak kakiku tak akan tertinggal.

Pintu belakang rumah tidak terkunci. Aku tahu itu. Sudah beberapa kali kulihat dia keluar lewat sana hanya untuk menyiram tanaman atau mengambil barang. Tangannya hanya menarik gagang, tanpa suara kunci diputar. Mungkin dia merasa aman. Mungkin dia hanya lupa. Atau memang begitulah caranya hidup — terbuka untuk segalanya.

Aku menyentuh gagang pintu dengan kain kecil di tanganku. Membukanya perlahan. Masuk.

Suasana di dalam rumah sepi. Hanya suara radio yang mengalun pelan dari ruang tamu. Aroma sabun lantai masih segar, seolah baru dipel hari ini.

Di dapur, kulihat cangkir dan sisa kopi. Air panas masih mengepul di dalam termos kecil. Ada dua butir permen mint di atas meja. Mungkin untuk menyegarkan napas setelah kopi. Biasa.

Langkahku biasa. Aku tahu posisinya. Ia ada di kamar depan. Pintu terbuka sebagian. Dari celahnya, kulihat punggungnya. Ia duduk di lantai, menyortir pakaian dari keranjang cucian.

Aku mengetuk pintu sekali. Ia menoleh, sedikit terkejut. Tapi tidak panik.

“Oh… kamu? Kok dari belakang?”

Aku angguk pelan. "Tadi aku lewat samping, Mbak. Liat pintu nggak dikunci."

Dia berdiri. Keningnya berkerut sedikit, tapi tidak mencurigakan.

Belum sempat ia bicara, aku membuka tote bagku. Kuambil kotak kecil yang kubungkus sebagai kado. “Aku cuma mau ngasih ini. Biasa aja, iseng.”

Dia menatap bingung, tapi menerimanya. Membuka pelan. Matanya membaca isi kotak: sebuah buku tua dengan halaman yang agak menguning, dan satu balok sabun berwarna biru pucat.

Ia mengernyit. “Ini apa?”

“Buku harian. Tapi kosong. Dan sabun, biar bersih.”

Kami sama-sama tertawa kecil. Tawa tipis. Lalu dia duduk kembali, meletakkan kotak di lantai.

Saat itulah, aku berdiri di belakangnya. Tanpa suara.

Sarung tangan sudah kupakai sejak sebelum naik ke dinding tadi. Aku mengeluarkan sendok logam kecil. Bukan untuk menusuk. Tapi untuk menjatuhkan butiran kecil dari bagian dalam saku: serpihan obat tidur kering yang sudah kupadatkan menjadi granul. Satu butir masuk ke dalam gelas sisa kopinya yang masih hangat. Aku mengaduknya sekali. Dan diam.

Tak lama kemudian, dia mengambil gelas itu lagi.

Dan minum.

Kami bicara beberapa menit. Tentang komplek. Tentang udara pagi. Tentang bagaimana sepi bisa menenangkan. Semuanya biasa.

Lalu ia menguap. “Maaf, aku jadi ngantuk banget...”

Aku mengangguk. “Nggak apa-apa. Aku pamit ya, Mbak. Makasih udah terima tamu dadakan.”

Dia tersenyum. “Iya, iya... makasih juga...”

Ia rebahan di lantai, seperti seseorang yang lelah tapi nyaman. Tidak ada perlawanan. Tidak ada kegelisahan.

Aku berjalan pelan keluar lewat pintu belakang yang sama. Menutupnya tanpa suara.

Di luar, angin mulai bergerak ringan. Aku menyusuri jalan kecil, kembali ke pos ronda.

Di dalam tas, hanya ada sisa tisu, plastik kosong, dan botol semprot yang belum sempat kugunakan.

Aku duduk di bangku yang sama. Mengambil napas. Mengirim satu pesan ke ponselku sendiri:

“Tindakan paling tenang selalu terlihat seperti hal sepele. Karena memang begitulah mereka ditulis.”

Lalu aku hapus pesannya. Lagi.

Langkah terakhirku bukan di keyboard. Tapi di aspal. Pulang ke rumah. Membuka pintu. Mencuci tangan. Menyimpan sarung tangan ke kantong plastik yang akan kubakar nanti malam.

Hari itu? Tidak ada yang spesial.

Dan itu... justru intinya.


Hari itu berlalu tanpa tanda. Tak ada suara sirene. Tak ada orang berlarian. Tak ada tetangga yang histeris. Yang ada hanya cuaca mendung yang menetap, dan suara burung kecil yang sesekali lewat.

Aku pulang seperti biasa. Menaruh tas di gantungan yang biasa. Mencuci tangan seperti biasa. Duduk di lantai dan membuka televisi yang hampir tak pernah kuperhatikan. Volume kecil. Hanya untuk suara.

Berita malam tidak menampilkan apapun tentang komplek itu. Tidak juga esoknya. Bahkan dua hari kemudian, aku harus secara sadar mencarinya di mesin pencari dengan kata kunci:

“perempuan ditemukan di rumah di komplek x”

Baru kutemukan artikel kecil. Hanya satu paragraf:

“Seorang perempuan muda ditemukan tak bernyawa di rumahnya di kawasan perumahan baru. Dugaan awal adalah serangan jantung saat istirahat siang. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Warga sekitar menyebut korban dikenal ramah dan mandiri. Polisi masih menyelidiki, namun tidak menemukan kejanggalan berarti.”

Komentar di bawah artikel itu lebih panjang dari artikelnya.

“Semoga husnul khotimah...” “Cantik dan baik, padahal masih muda.” “Innalillahi, semoga keluarga diberi ketabahan.”

Aku membaca semuanya. Satu per satu. Lalu menutup tab browser.

Beberapa hari kemudian, komplek kembali seperti biasa. Pagar rumahnya dikunci. Bunga-bunga di potnya mulai layu. Ada pita kuning di pagar, tapi hanya tergantung seadanya.

Aku tetap lari pagi. Tetap jalan sore. Tapi rutenya kutukar. Bukan karena takut. Tapi karena sudah tidak ada yang perlu diawasi.

Dan ketika aku lewat di tikungan tempat pos ronda berada, aku hanya duduk sebentar. Duduk tanpa alasan.

Suatu pagi, sekelompok pemuda kembali lewat. Salah satu dari mereka melihatku dan berkata:

“Eh, itu yang dulu suka duduk-duduk di pos ya?”

Yang lain menoleh, lalu tertawa.

“Iya. Wajahnya familiar. Tapi nggak tahu siapa.”

Aku tersenyum kecil. Mengangguk pelan. Tidak menyahut. Mereka berlalu. Seperti hari itu.

Aku membuka ponsel. Menulis sesuatu di catatan. Bukan untuk disimpan. Tapi untuk dilupakan setelah ditulis:

“Kalau sesuatu tidak tercatat, bukan berarti tidak pernah terjadi. Kadang yang paling nyata justru yang paling mudah diabaikan. Seperti napas. Seperti bayangan. Seperti langkah kaki yang tidak menginjak air.”

Lalu aku menghapus catatan itu.

Dan hidup pun lanjut — seperti biasanya.


P.S. Read this document freely for information and guidance. Do not redistribute or restate—no quotes, summaries, paraphrases, or derivatives—without prior written permission from Prof. NOTA. Sharing the link is allowed. So, share the link, not the text. Do not discuss or re-tell the contents in any form—written, spoken, or recorded—without prior written permission.


Last updated